Akhirnya, Mahasiswa ITB!
“Saudara-saudara, bersediakah saudara membacakan Janji Mahasiswa Institut
Teknologi Bandung?”
“Bersedia!”
“Silakan mengikuti kata-kata teman saudara.”
JANJI MAHASISWA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Kami
Segenap mahasiswa Institut Teknologi Bandung
Berjanji
Akan menuntut ilmu
Keterampilan dan watak penghayatan
Dengan ketekunan dan kesadaran
Bagi kesejahteraan bangsa Indonesia
Peri kemanusiaan dan peradaban
berdasarkan pancasila
Segenap mahasiswa Institut Teknologi Bandung
Berjanji
Akan menuntut ilmu
Keterampilan dan watak penghayatan
Dengan ketekunan dan kesadaran
Bagi kesejahteraan bangsa Indonesia
Peri kemanusiaan dan peradaban
berdasarkan pancasila
Kami berjanji
Akan menegakkan
dan menjunjung tinggi
kejujuran dan keluhuran pendidikan
serta susila mahasiswa
Kami berjanji
Akan setia dan mengabdi
kepada almamater kami
Institut Teknologi Bandung
serta Bangsa dan Negara kami, Republik Indonesia
Akan setia dan mengabdi
kepada almamater kami
Institut Teknologi Bandung
serta Bangsa dan Negara kami, Republik Indonesia
Demi itu
kami mohon, Tuhanku
Rahmat dan tuntunan-Mu
Air mata
mulai seperti hujan badai yang tiba-tiba melanda hati, berusaha menembus
bendungan yang mulai rapuh. Dalam hati
mulai terpatri, semangat dalam sanubari untuk melaksanakan janji.
----------
Setelah
melewati masa yang sangat panjang, perjuangan dan penantian yang terasa tiada
henti, penuh keluh, peluh dan juga air mata, akhirnya saya bisa resmi mengenakan
jas almamater hijau ini dan mengatakan :
“SAYA
MAHASISWA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG!”
----------
Aku juga
pernah mengikuti entrance testnya Nanyang Technological University (NTU). Tak ada
kayu rotan pun jadi. Aku berpikir mungkin kalau tidak masuk NUS yang
kata-katanya entrance testnya lebih sulit, masuk NTU pun jadi. Hanya selang
sekitar dua minggu, aku berangkat lagi ke Jakarta untuk mengikuti tes yang
kira-kira serupa di SMAK Penabur. Hasilnya? Tak jauh beda dengan NUS terdahulu,
baik pesertanya maupun tesnya. Lagi-lagi yang tersisa hanyalah harapan dan doa.
Sempat menjadi
dilema yang tak terperi kala itu, tepat ketika pendaftaran SNMPTN (Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Nasional) dibuka. SNMPTN adalah jalur tanpa tes
yang dapat diambil siswa SMA untuk masuk PTN yang diinginkan hanya dengan
menggunakan nilai rapor. Aku bingung, dengan harapan yang masih sangat tinggi
walaupun sangat pesimis untuk bisa diterima di NUS atau NTU, apakah aku harus
mengambil SNMPTN -sebuah peluang berisiko tinggi, dimana harus diambil kalau
dapat, kalau ditolak akan menurunkan indeks sekolah yang tentunya akan
berdampak bagi adik-adik angkatan selanjutnya- atau tidak. Namun kepercayaan
diriku serasa sudah menguap entah kemana, aku tidak mampu lagi membayangkan
untuk sekolah di NUS atau NTU karena tau peluangku kecil (yang akhirnya memang
datang email permintaan maaf), akhirnya aku memutuskan untuk mengambil SNMPTN
itu dan bersiap melepaskan NUS atau NTU kalau keterima (buset, ngarep banget,
bu).
Dalam tiga
kali survey Bimbingan Konseling (BK) mengenai studi lanjutku, tak pernah
sekalipun tertoreh tiga huruf selain NUS atau NTU di lembaran-lembarannya. Hanya
pernah ditambah dengan dua huruf lainnya, yaitu UI (Universitas Indonesia). Yakinlah,
tak ada orang di Indonesia yang tak memimpikan sekolah di universitas tersebut.
Semua orang pasti jatuh cinta pada namanya, ilmunya, atau bahkan tempatnya. Tapi
aku jatuh cinta pada jaket almamaternya sehingga memilihnya tanpa ragu. Ya,
karena warnanya kuning. Aneh memang, banyak orang yang menghujatku karena alasan
itu, masa sih alasannya sesimple dan se-soksok-an itu, toh UNNES (Universitas
Negeri Semarang) juga jaketnya kuning, kenapa gak ke sana aja? Sebenarnya tentu
ada alasan lain selain jaket almamater itu, pasti karena UI adalah salah satu
universitas terbaik di Indonesia kan? Tapi itu terlalu mainstream untuk
disebutkan bukan?
Butuh waktu
yang sangat lama untukku menuliskan formulir pendaftaran SNMPTN itu hingga
akhirnya masuk ke database nasional. Beberapa pemikiran yang sempat
menghantuiku adalah
“Kan kamu IPA, ngapain ngambil Manajemen di UI yang
buat anak IPS? Ngapain susah-susah belajar matematika, fisika, biologi, kimia
sampai kayak mau mati gitu? Sia-sia woy”
“Iya juga sih, ya”
“Kalau gitu, kenapa gak ngambil yang lebih IPA gitu,
kayak kedokteran atau teknik?”
“Hmm, ga suka dokter. Teknik aja kali ya, tapi teknik
apa ya? Aku ingin sih jadi arsitek, tapi ga bagus-bagus amat seninya. Teknik Sipil
ya?”
Tiba-tiba
papa menentang Teknik Sipil. Katanya wanita akan sulit mempertahankan karir
atau keluarga kalau harus terjun ke lapangan terus menerus. Oke, kata-kata
orang tua harus dituruti.
Saat cerita
lagi ke abang, “Lah, ilmu itu gak ada
yang gak berguna, gak ada yang sia-sia, dek. Ikutin aja passionmu, kalau mau
manajemen UI juga gapapa.”
Seketika
langsung terbangun lagi keyakinan untuk menuliskan “Fakultas Ekonomi Bisnis
(FEB) – Universitas Indonesia (UI)” di formulirku. Tapi, terdengar bisikan
bahwa ada jurusan IPA yang belajarnya kayak manajemen juga, yaitu Teknik
Industri. Lebih general, secara aku kurang suka dengan ilmu spesialisasi,
gampang bosanan gitu. Dan yang membisikkannya ya abangku juga (memang gini nih)
yang tak lain tak bukan juga lulusan Teknik Industri ITB. Otakku langsung
terset untuk pindah ke Teknik Industri. Mempertahankan universitas dambaan,
hampir kutuliskan “Teknik Industri – UI” ke dalam formku.
“Kalau mau belajar jangan setengah-setengah, langsung
ambil yang terbaik. Kalau mau teknik, yang terbaik ya di ITB lah, dek.”
Kata-kata
itulah yang mengubah haluan tanganku untuk menuliskan FTI – ITB ke dalam form
SNMPTN ku. Tanpa pilihan kedua, sepertinya yang lain terasa terlalu jauh
untukku. Submit.
Jujur, aku
sangat yakin bisa diterima di FTI ITB melalui jalur SNMPTN, sampai tiba-tiba
tersebar kabar adanya surat dari ITB untuk SMA TN. Surat cinta, eh maksudnya
surat peringatan. Salah satu abang angkatan sebelumnya yang diterima di FTI
ITB, menolak SNMPTN nya dan memilih merajut masa depannya di tempat lain (tak
perlu diperjelas sepertinya). Kemudian saya mengecek track record FTI ITB
sebelumnya, dan ternyata ada kakak di angkatan yang sama juga yang melepas
kursi SNMPTN nya di fakultas yang sama. Aduh. Blacklist. Pengurangan kuota. Tidak diterima. Tidak diterima. Itulah
kabar yang tersebar. Yang bisa kulakukan? Hanyalah berdoa. Udah terlanjur sih nulis
cuman satu pilihanL mau gimana
lagi kan? Belajar aja sih buat UN.
Hari H
pengumuman SNMPTN. Semuanya panik. Grup ribut, padahal itu sedang cuti UN. Posisiku
sedang di Solo, liburan ceritanya. Yang lain pada sedang sibuk les SBMPTN, aku
siap ternak lele kalau tidak diterima. Mungkin di luar kuterlihat sangat
santai, tak takut akan apapun pengumuman yang akan keluar di web
snmptn.itb.ac.id itu, tapi jelas aku juga bisa merasakan takut. Takut gak
keterima, takut gak punya sekolah, takut gabisa hidup. Ya begitulah.
Jam 2 sore.
Teng teng. Pengumuman.
Kubuka webnya,
dan puji Tuhan, diterima di FTI – G ITB. Sesuai keinginan, satu-satunya
pilihan. Dan kumulai berpikir tentang teman-teman yang lain. Banyak yang
diterima, juga banyak yang belum rejeki, aku hanya bisa menyemangati dan
mendoakan semoga mereka bisa mendapatkan yang terbaik.
Saat itulah
aku banyak berpikir, banyak hal tak terduga yang akan terjadi di dunia ini,
selama kehidupan terus berlangsung. Yakin dan percayalah, apa yang
direncanakan-Nya untuk kita adalah apa yang terbaik untuk kita, mungkin bukan
yang kita inginkan, melainkan apa yang sebenarnya kita butuhkan. Dan untuk
mencapai jalan itu, kita tidak boleh hanya menunggu, hanya berharap, hanya berkhayal,
tapi kita harus berusaha, berjuang untuk mencapainya. Kita sebagai manusia,
mustahil untuk mengubah jalan yang telah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa,
tetapi kita bisa mengusahakan yang terbaik dengan BERANI mengambil keputusan!
Serangkaian
acara sebagai calon mahasiswa yang penuh perjuangan, seperti daftar ulang
pertama di Jatinangor, tes psikotes pagi-pagi buta di Jatinangor, daftar ulang
(LAGI) di Sabuga bersama teman-teman SBMPTN, gladi, sampai akhirnya bisa
mengikuti
Bangga. Bangga
banget. Coba aja sendiri, pasti nanti tau rasanya. Jaket Almamater jadi terasa
keren banget (walaupun biasanya kusangat ingin yang warna kuning, tapi jujur
sejujurjujurnya aku bangga dengan ini, iyalah ITB coy!). Paling nyeh itu pas
bacain janji yang di atas. Pengen nangis saking terharunya. Pas nyanyi lagu “Bagimu
Negeri” setelah pembacaan janji juga terasa sangat mengharukan, padahal itu
lagu yang biasanya dinyanyikan asal-asalan pas apel malam di TN. Sungguh,
perasaan yang sangat menakjubkan.
Semoga janji
itu akan selalu mengiringiku, mengingatkanku, mengajariku dalam melangkah ke
depannya, menyelesaikan pendidikanku di almamater tercinta ini, Institut
Teknologi Bandung. Juga kamu, yang sedang, baru, dan akan merajut asa di kampus
gajah ini.
Bandung, 7
Agustus 2017
Dengan
perasaan yang tak terdefinisikan,
Thierris
Nora Kusuma
FTI-G ITB
NB :
harusnya ini kupost dua hari yang lalu, tapi apalah daya, karena satu dua hal
harus tertunda sampai hari ini. maaf akan durasinya yang tak kira-kira, semoga
dapat membantu dan menginspirasi banyak insan cendekia makhluk Tuhan yang berbahagia
di luar sana.
Comments
Post a Comment