2019
-------
Rintik
hujan menggelitiki pipiku
Tiupan
angin membelai wajahku
Bisingnya
suara mesin, suara kendaraan bersahutan
Aroma hujan
bertemu aspal dalam kegelapan
Membuai
bagaikan mantra yang lembut
Memejamkan
mata melenyapkan pikiran
Membawaku kembali
menyusuri untaian kenangan
-------
2019.
Tahun
pertemuan dan perpisahan.
Di kala keluarga lain menyambut
dengan riang tahun yang baru, selalu saja ada yang kurang di sini. Aku lupa
kapan persisnya terakhir kami melewati tahun bersama. Selalu saja terulang
setiap tahunnya, entah itu tanpa si bujang, tanpa si tengah atau tanpa si bungsu. Sedih, pedih,
perih rasanya, foto keluarga yang diunggah setiap tahun, selalu kehilangan
komponennya. Tak terucapkan memang, selalu berlindung dibalik ungkapan “yang
penting bukan bentuknya, tapi esensinya”.
Masih teringat sangat jelas, senyum
itu, di kala kami memutuskan untuk “pulang” di hari yang hanya ada sekali
setiap tahunnya dan jelas tidak akan pernah sama setiap tahunnya. Bukannya kami
tidak ingin, selama ini mungkin kami hanya tidak bisa, atau lebih tepatnya
tidak mau: tidak mau meninggalkan, tidak mau berkorban, tidak mau berusaha.
Lantas ketidakmauan itu tersimpan dibalik kata “tidak bisa”.
Ah, sejak kapan mulai ada kerutan di
bawah mata itu?
Ah, sejak kapan rambut putih mulai
bersemayam di kepala itu?
Ah, sejak kapan parut mulai
menghiasi kedua tangan itu?
Ah, sejak kapan senyumnya bisa
semenyakitkan itu?
Mungkin selama ini bukan hanya aku
yang sedih harus jauh dari rumah, mungkin selama ini kesedihan dan kerinduanku
hanyalah butiran debu jika dibandingkan dengan mereka. Kerapuhan, itu yang
kulihat, terdapat pada semuanya yang berusaha untuk tetap tegar, agar aku tetap
kuat berlayar. Nenek dan mama, kedua sosok wanita yang selalu tersenyum
mendukung impianku. Kakak yang selalu berjuang dengan caranya. Bahkan kerapuhan
itu mulai terlihat di papa dan abang, yang selama ini menjadi nahkoda, menjadi
tumpuan, tetap harus berdiri walau badai menghadang. Mereka juga merintih,
pedih, dan meraih dalam perjuangannya masing-masing, berharap segala perih dan
letih ini akan menjadi seri untuknya, untuk kami semua.
Hati menjadi lebih sensitif. Dua
puluh tahun menjalani kehidupan, entah kenapa baru disadarkan sekarang. Betapa
sebenarnya yang dituntut bukanlah sesuatu yang besar, sesuatu yang megah,
ataupun sesuatu yang menakutkan. Betapa sebenarnya hal-hal kecillah yang
berarti, hal-hal yang mungkin sepele, tak terpikirkan sebelumnya, yang ternyata
menjadi sumber kebahagiaan mereka. Sungguh indah tak terperi mengingat
waktu yang dihabiskan dengan papa, menyelami kehidupan papa yang selama
ini tak pernah kusangka, papa yang punya sisi rapuh, papa yang ternyata adalah
pria yang juga manusia di balik wujud “superman”nya. Waktu yang kuhabiskan dengan mama, semakin menyadari bahwa dibalik senyuman mama selalu ada kekhawatiran, dibalik kata-kata penyemangat mama selalu ada kerinduan, dibalik sosok mama yang begitu kuat, ada mama yang mencintai keluarganya. Begitu juga waktu-waktu
yang kuhabiskan lebih banyak dengan nenek, betapa hal kecil seperti menanyakan
kabar, bisa melihat tempat tinggal cucunya, bisa makan bersama, bisa
mengunjungi tempat bersama, menjadi kebahagiaan yang membuatnya lupa akan rasa
sakit dan rasa lelah. Ah, ku tak sanggup lagi, air mata ini tak dapat dibendung
lagi apabila ini dilanjutkan. Sungguh, jika bisa diulang, bawa aku kembali.
Semua pertemuan ini selalu bak
mimpi, membuai dalam caranya masing-masing, kemudian terbangun dan terpisah,
selalu dalam satu kisah. Selagi masih ada waktu, selagi masih ada kesempatan,
bahagiakanlah orang-orang yang kamu cintai dan mencintaimu. Tak selalu harus
besar, kadang sesuatu yang kecil pun membawa dampak yang besar.
Semua bukan tentang materi, yang
berarti hanyalah momen dan perasaan yang terpatri.
-------
Tetesan hujan semakin ramai
membasahi wajahku
Tiupan angin semakin kencang semakin
menyakitkan
Menampar, menyadarkanku kembali
Langit semakin gelap, malam semakin
larut
Ah, aku belum sampai
Semuanya asing, cahaya, suara,
perasaan
Bahkan kutaktahu siapa yang membawaku
Hanya dihubungkan seuntai
kepercayaan karena kebiasaan
-------
2019.
Puncak dari
kecongkakan, inti dari ketidakpedulian.
Kepekatan malam mengingatkanku akan
seluruh pelik yang pernah menyelimuti. Kecongkakan, keegoisan, mula dari
keretakan yang sering kali tak disadari. Lantas retak menyebabkan puing dan
puing menyebabkan luka. Sebenarnya, diri ini tidak akan mudah disakiti, asalkan
tidak menaruh ekspektasi kepada orang lain. Sayangnya, manusia sering kali hobi
berekspektasi, dan ketika ekspektasi itu tidak tercapai, di situlah rasa sakit
mengakar. Kadang tidak semuanya akan berjalan sesuai keinginan, sesuai dengan
harapan kita. Tidak semua yang kamu anggap penting akan menganggapmu penting
pula. Akankah lebih baik apabila kita tidak menaruh ekspektasi sama sekali? Tampaknya begitu, apalagi kepada manusia, yang kita tidak pernah tahu apa yang
ada di dalam pikirannya, apalagi hatinya. Seperti kata Shakespeare, "Expectation
is the root of all heartache".
Lantas apakah hidup ini sudah tidak
ada harapannya? Selalu ada perbedaan mendasar antara ekspektasi, sesuatu yang
kamu upayakan tapi tidak mungkin terjadi (mengekspektasikan kebahagiaan datang
dari orang lain adalah ketidakmungkinan karena bahagia mulainya dari dalam
diri), dan harapan, sesuatu yang kamu harapkan dengan lebih realisitis dan
probabilitas yang lebih tinggi. Ketidakpedulian dan keapatisan diri inilah yang
akhirnya membuat garis itu menghilang. Fokus yang ambyar, menyisakan raga yang
terluntang-lantung. Dewasa hanya di umur, pikiran masih layaknya kecebong yang
baru lahir. Segala kesibukan terasa bagaikan pasir hisap, fokus yang salah
kemudian membunuhmu perlahan. Diri ini menjadi reaktif, bom waktu yang dapat
meledak kapan saja. Selalu orang lain yang salah, selalu lingkungan yang salah,
bahkan kursi yang diam pun terasa salah.
Suara teriakan yang tak sampai, air
mata yang tak semampai. Hari-hari dirundung pilu, hilang dalam sendu. Berubah
dalam halu, luka dan perih membiru, menyisakan sepi yang tak berhulu. Semua
seolah tak pernah cukup, hati dan pikiran tertangkup, inti harapan meredup.
Aku bahkan lupa caranya tertawa
selain menertawakan diri sendiri.
-------
Persimpangan
jalan
Motor yang
kunaiki memelan
Cahaya
bersinar, mulai terasa samar-samar
Pertanyaan itu lantas datang
"Jalan mana
yang harus diambil?"
Sepertinya
aku ingat arahnya
Dan tanpa
sadar tanganku menunjuk
Ah benar,
ini kan jalan pulang
-------
2019.
Menemukan
dan ditemukan.
Apakah manusia selalu selemah ini?
Menyerah pada kegelapan, tanpa perlawanan. Ataukah ini terjadi hanya padaku?
Sungguh kegelapan, kesedihan, kemarahan dapat membuat manusia lupa. Lupa bahwa
dibalik semua pengkhianatan masih ada kesetiaan, dibalik semua kepedihan masih
ada kebahagiaan, dibalik semua hari hujan masih ada hari cerah. Perlu waktu
yang lama untuk bisa menemukan kembali setitik cahaya itu. Perlu waktu yang
lama untuk dapat menyadari bahwa masih ada orang yang peduli padamu, tidak
seluruh dunia mengabaikanmu hanya karena kamu tersandung sedikit di
persimpangan jalan. Perlu waktu yang lama pula untuk dapat menyadari betapa
besarnya berkat, anugerah keindahan yang kamu peroleh setiap hari ternyata hanya
tertutup oleh setitik kotoran di bulu matamu, bukan di seluruh bola matamu.
Namun tak apa, mereka yang peduli akan bertahan, apa yang penting dan berarti
akan bertahan.
Memedulikan orang lain memang
penting, namun tanpa jiwa yang sehat, semuanya seolah tak berarti. Tidak akan ada orang lain di
dunia ini yang sanggup menghancurkan dirimu seperti dirimu sendiri. Juga tidak akan ada orang lain di dunia ini yang sanggup
mencintai dirimu seperti dirimu sendiri. Intinya
hanya bagaimana dirimu memperlakukan dirimu sendirilah yang akan membentuk
dirimu. Cintailah dirimu sendiri. Menjadi berbeda itu tidak apa-apa, menjadi tidak sempurna adalah
kesempurnaan itu sendiri. Kekuatan dari dalam diri itu penting. Seperti kata
Buddha “What you think, what you become”. Kalau kamu berpikir kamu
bahagia, maka kamu akan bahagia.
Pada akhirnya yang dapat kamu
andalkan hanya dirimu sendiri. Menemukan atau ditemukan.
-------
Pagar itu
kian terlihat
Akhirnya
aku pun tiba
Di depan
pintu yang kutunggu
Selimut
yang hangat, cangkir dengan teh panas
Menungguku
pulang
-------
2019.
Maaf dan
terima kasih.
Maaf karena menyalahkanmu. Maaf
karena menyakitimu. Maaf karena semua keegoisanku. Maaf karena semua
ketidakpedulianku. Maaf untuk semua maaf yang telah kuucapkan.
Terima kasih untuk semua
pelajarannya. Terima kasih untuk semua kesempatannya. Terima kasih untuk yang
datang dan pergi. Terima kasih untuk yang bertahan dan berbalik. Terima kasih
untuk yang sudah pernah singgah. Terima kasih untuk pintu yang ditutup dan
pintu yang dibuka.
Sungguh dua ungkapan ini indah namun begitu sulit untuk diungkapkan.
-------
Akankah
semuanya berubah?
Akankah
semuanya menjadi lebih baik?
Kupercaya,
Walaupun
dingin dan basah
Walaupun
deru hujan dan air mata tercampur tak terpisahkan
Kutahu,
langkah ini takkan terhenti
Mari
berdiam sejenak
Mengisi
kembali energi
Kekuatan
untuk mengusung hal baru,
Nanti,
besok, tahun baru
Ketika
nanti kuakan keluar lagi dari pagar ini,
Kutahu itu
akan menjadi sesuatu yang baru
Yang lebih
baik
Yang lebih
indah
Karena
selalu ada langit cerah setelah hari hujan
Selalu ada
bunga bermekaran setelah hujan deras
Dan selalu
ada esok yang lebih baik
Terima
kasih 2019.
Salam hangat.
Bandung, 31
Januari 2019
Masih gadis
yang akan terus berusaha.
Kok sedih?
ReplyDelete